Tampilkan postingan dengan label Cerita Anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Anak. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Desember 2010

Cerita Anak : Emas dan Batu

Berkat kerja keras dan selalu menabung, petani itu akhirnya kaya raya. Karena tak ingin tetangganya tahu mengenai kekayaannya, seluruh tabungannya dibelikan emas dan dikuburnya emas itu di sebuah lubang di belakang rumahnya. Seminggu sekali digalinya lubang itu, dikeluarkan emasnya, dan diciuminya dengan penuh kebanggaan. Setelah puas, ia kembali mengubur emasnya.
 
          Pada suatu hari, seorang penjahat melihat perbuatan petani itu. Malam harinya, penjahat itu mencuri seluruh emas si petani.
 
          Esok harinya petani itu menangis meraung-raung sehingga seluruh tetangga mengetahui apa yang terjadi. Tak seorang tetangga pun tahu siapa yang mencuri emasnya. Jangankan soal pencurian, tentang lubang berisi emas itu saja mereka baru tahu hari itu. Kalau tidak ada pencurian, tak ada yang tahu bahwa petani itu memiliki emas yang dikubur di belakang rumahnya. Sebagian orang ikut bersedih atas pencurian itu, sebagian yang lain mengejek dan menganggap petani itu bodoh.
 
          “Salah sendiri menyimpan emas di rumah. Mengapa tidak dijual saja dan uangnya dipakai untuk membangun rumah. Biar rumahnya lebih bagus, tidak reot seperti sekarang. Itulah ganjaran orang kikir. Kalau dimintai sumbangan, selalu saja jawabannya tidak punya. Sekarang, rasakan sendiri!”
 
          Tetapi tak seorang pun yang berani terus terang mengejek atau mengumpat petani yang ditimpa kemalangan itu. Semua ejekan dan umpatan hanya diucapkan di antara sesama mereka saja, tidak di hadapan si petani. Hanya seorang lelaki tua miskin yang berani bersikap jujur kepada petani itu. Lelaki tua itu tinggal tak jauh dari rumah si petani.
 
          “Sudahlah, begini saja. Di lubang bekas emas itu kuburkanlah sebongkah batu atau apa saja dan berlakulah seperti sebelum kau kecurian.”
 
          Mendengar itu, si petani marah.
 
          “Apa maksudmu? Kau mengejekku, ya? Yang hilang itu emas, bukan batu. Kau sungguh tetangga yang jahat. Kau memang orang miskin yang cuma bisa mengubur batu. Aku bisa mengubur emas atau apa saja semauku. Kini aku kehilangan emas dan kau enak saja menyuruhku mengubur batu. Kau pikir batu sama dengan emas?!”
 
          Suasana pun gaduh. Orang-orang melerai.
 
          Dengan tenang lelaki tua itu menjawab:
 
          “Apa bedanya emas dan batu? Kalau kau bisa mengubur emas, seharusnya kau juga bisa mengubur batu. Tahukah kau, dengan mengubur emas berarti kau telah menjadikan logam mulia itu sebagai barang yang tidak berharga. Lalu, apa salahnya kau mengubur batu dan berkhayal yang kau kubur itu adalah emas.”



  (Diceritakan kembali oleh: Prih Suharto. Sumber: Sketches for a Portrait of Vietnamese Culture)
prih_suharto @ yahoo . com
read more...

Jumat, 10 Desember 2010

Raja Telinga Keledai

Raja Zanas memerintah dengan sewenang-wenang. Kegemarannya menumpuk harta sebanyak mungkin yang diperolehnya dari pajak rakyatnya. Raja Zanas selain tamak juga seorang raja yang sangat kikir. Rakyat yang hidup sengsara tidak sekalipun pernah dipikirkannya. Anehnya raja yang zalim itu mempunyai kegemaran mendengarkan musik.
Padahal kata orang-orang bijak musik dapat memperhalus perasaan. Oleh karena itu yang menyukainya akan mempunyai perasaan yang lembut tetapi cerdas. Salah satu kegemaran Raja Zanas adalah mendengarkan tiupan suling. Kebetulan di negerinya ada seorang peniup seruling yang sangat pandai bernama Tarajan.
Raja Zanas sangat memanjakan Tarajan dan kerap mengirim peniup seruling itu ke seluruh penjuru negeri bahkan ke luar kerajaannya untuk berlomba. Tarajan selalu jadi juara pertama dan memperoleh hadiah-hadiah yang menggiurkan. Sayang karena hal itu Tarajan jadi sombong dan congkak. Karena sombongnya Tarajan mengaku dapat mengalahkan Dewa Apolo. Seorang Dewa bangsa Yunani yang sangat menguasai seni musik.
Tarajan mengusulkan pada Raja Zanas agar ia dipertandingkan dengan Apolo. Usul itu diterima dengan baik bahkan raja merasa bangga jika Tarajan dapat mengalahkan pemain musik dari kerajaan langit itu. Dewa Apolo yang mendengar tantangan itu menyanggupi. Justru Dewa itu ingin memberi pelajaran pada Tarajan dan Raja Zanas yang berkelakuan tidak lazim.
“Seandainya aku kalah biarlah aku mengabdi pada Raja Zanas seumur hidupku. Tetapi andaikan aku yang menang aku minta separuh kerajaanmu dan kuserahkan pada rakyatmu” kata Dewa Apolo. Raja Zanas dan Tarajan setuju. Mereka begitu yakin dapat mengalahkan Apolo yang tampak masih sangat muda itu.
Pada hari yang telah ditentukan pertandingan dimulai. Seluruh rakyat tumpah ruah ke halaman Istana. Sedangkan Dewa Zeus sebagai penguasa seluruh khayangan ikut menyaksikan tanpa seorang pun yang tahu. Sebagai penantang Tarajan dipersilakan meniup seruling terlebih dahulu. Dengan pongah Tarajan naik ke atas podium lalu segera meniup serulingnya. Seruling emas berbalut intan permata milik Tarajan segera mengumandangkan lagu-lagi yang sangat merdu. Naik turun seperti ombak. Lembut seperti angin pesisir. Bergolak seperti ombak menerjang karang.
Semua yang mendengarkan bagaikan tersihir. Begitu hebatnya tiupan seruling Tarajan. Raja Zanas tertawa terbahak-bahak dan yakin sekali peniup serulingnya akan keluar jadi pemenang. Tetapi Dewa Apolo tenang. Diam bagaikan patung, tetapi bibirnya tersenyum. Pertanda kagum juga pada permainan seruling Tarajan. Dan ketika usai sorak ssorai seperti membelah angkasa. Tarajan berdiri berkacak pinggang dengan wajah sangat pongah.
Ketika giliran Dewa Apolo, Dewa kesenian itu mengangkat serulingnya dengan cantik sekali. Lembut bagaikan menimang bayi suci. Dan ketika bibirnya mulai meniupkan sebuah lagu, langit berpendar-pendar antara siang dan malam. Rakyat yang menonton terhanyut dalam irama yang luar biasa indah. Dengan mata terpejam semua menari dengan lembut sekali. Mereka pun menyanyi sebuah lagu kedamaian yang sekonyong saja mampu dinyanyikan. Rakyat yang jumlahnya tidak terhitung itu larut dalam lagu-lagu dan irama yang sebelumnya tidak pernah mereka dengarkan tetapi sangat merdu mendayu-dayu.
Akhirnya Dewa Zeus yang menampakkan diri menyatakan Apolo sebagai pemenangnya. Dan meminta Raja Zanas seger memberikan separuh kerajaannya pada rakyatnya. Tetapi raja kikir itu menolakk hingga membuat Dewa Zeus marah. “Selama kau tidak memberikan pada rakyat apa yang telah kau janjikan, maka telingamu akan membesar setiap hari.” Kata Dewa Zeus.
Memang benar. Telinga Raja Zanas tiap hari semakin besar hingga sangat berat dan membuatnya tidak bisa berdiri apalagi berjalan. Jadilah ia raja bertelinga keledai. Akhirnya Raja Zanas menyerahkan separuh kerajaannya pada rakyatnya. Dan berjanji tidak lagi kikir dan tamak. Dewa Zeuslah saksi dari ucapannya
read more...

Kamis, 02 Desember 2010

Asal-Usul Nyamuk Pertama

Pada zaman dahulu hiduplah seorang petani sederhana bersama istrinya yang cantik. Petani itu selalu bekerja keras, tetapi istrinya hanya bersolek dan tidak mempedulikan rumah tangganya. Mereka tinggal di rumah yang sangat sederhana dan hidup dari hasil pertanian sebagaimana layaknya keluarga petani.
 
          Sang istri yang cantik itu tidak puas dengan keadaan mereka. Dia merasa, sudah selayaknya jika suaminya berpenghasilan lebih besar supaya dia bisa merawat kecantikannya. Untuk memenuhi tuntutan istrinya, petani itu bekerja lebih keras. Namun, sekeras apa pun kerja si petani, dia tak mampu memenuhi tuntutan istrinya. Selain minta dibelikan obat-obatan yang dapat menjaga kecantikanya, istrinya juga suka minta dibelikan pakaian yang bagus-bagus --yang tentunya sangat mahal.
 
          “Bagaimana bisa kelihatan cantik kalau pakaianku buruk,” kata sang istri.

           Karena hanya sibuk mengurusi penampilan, istri yang cantik itu tidak memperhatikan kesehatannya. Dia jatuh sakit. Sakitnya makin parah hingga akhirnya meninggal dunia. Suaminya begitu sedih. Sepanjang hari dia menangisi istrinya yang kini terbujur tanpa daya. Karena tak ingin kehilangan, petani itu tak mau mengubur tubuh istrinya yang amat dicintainya itu. Dia ingin menghidupkan kembali istrinya.

          Esok harinya suami yang malang itu menjual semua miliknya dan membeli sebuah sampan. Dengan sampan itu dia membawa jasad istrinya menyusuri sungai menuju tempat yang diyakini sebagai persemayaman para dewa. Dewa tentu mau menghidupkan kembali istriku, begitu pikirnya.
 
          Meskipun tak tahu persis tempat persemayaman para dewa, petani itu terus mengayuh sampannya. Dia mengayuh dan mengayuh tak kenal lelah. Suatu hari, kabut tebal menghalangi pandangannya sehingga sampannya tersangkut. Ketika kabut menguap, di hadapannya berdiri sebuah gunung yang amat tinggi, yang puncaknya menembus awan. Di sinilah tempat tinggal para dewa, pikir Petani. Dia lalu mendaki gunung itu sambil membawa jasad istrinya.
 
          Dalam perjalanan dia bertemu dengan seorang lelaki tua.
 
          “Kau pasti dewa penghuni kayangan ini,” seru si petani dengan gembira.
 
          Dikatakannya maksud kedatangannya ke tempat itu.
 
          Laki-laki tua itu tersenyum.
 
          “Sungguh kau suami yang baik. Tapi, apa gunanya menghidupkan kembali istrimu?”
 
          “Dia sangat berarti bagiku. Dialah yang membuat aku bersemangat. Maka hidupkanlah dia kembali,” kata si petani.
 
          Laki-laki tua itu menganggukkan kepalanya.
 
          “Baiklah kalau begitu. Akan kuturuti permintaanmu. Sebagai balasan atas kebaikan dan kerja kerasmu selama ini, aku akan memberimu rahasia bagaimana cara menghidupkan kembali istrimu. Tusuk ujung jarimu, lalu percikkan tiga tetes darah ke mulutnya. Niscaya dia akan hidup kembali. Jika setelah itu istrimu macam-macam, ingatkan bahwa dia hidup dari tiga tetes darahmu.”

           Petani itu segera melaksanakan pesan dewa itu.


Ajaib, istrinya benar-benar hidup kembali.
 
          Tanpa pikir panjang, suami yang bahagia itu pun membawa pulang istrinya. Tapi, sang istri tahu, selain sampan yang dinaiki mereka, kini suaminya tak punya apa-apa lagi. Lalu, dengan apa dia merawat kecantikannya?
 
          Suatu hari, sampailah suami-istri itu di sebuah pelabuhan yang sangat ramai. Petani turun dari sampan dan pergi ke pasar untuk membeli bekal perjalanan dan meninggalkan istrinya sendirian di sampan. Kebetulan, di sebelah sampan mereka bersandar sebuah perahu yang sangat indah milik seorang saudagar kaya yang sedang singgah di tempat itu. Melihat kecantkan istri si petani, pemiliik perahu itu jatuh cinta dan membujuk perempuan cantik itu untuk ikut bersamanya.
 
          “Kalau kau mau ikut denganku, akan aku belikan apa saja yang kau minta,” kata sang saudagar.
 
          Sang istri petani tergoda. Dia lalu pergi dengan saudagar itu.
 
          Pulang dari pasar Petani terkejut karena istrinya tak ada lagi di sampannya. Dia mencari ke sana-kemari, tetapi sia-sia. Setahun kemudian, bertemulah dia dengan istrinya, tetapi istrinya menolak kembali kepadanya. Petani lalu teringat kepada dewa yang memberinya rahasia menghidupkan kembali istrinya.
 
          “Sungguh kau tak tahu berterima kasih. Asal tahu saja, kau hidup kembali karena minum tiga tetes darahku.”
 
          Istrinya tertawa mengejek.
 
          “Jadi, aku harus mengembalikan tiga tetes darahmu? Baiklah…”
 
          Sang istri pun menusuk salah satu jarinya dengan maksud memberi tiga tetes darahnya kepada suaminya. Namun, begitu tetes darah ketiga menitik dari jarinya, wajahnya memucat, tubuhnya lemas, makin lemas, hingga akhirnya jatuh tak berdaya. Mati.

           Setelah mati, dia menjelma menjadi nyamuk. Sejak itu, setiap malam nyamuk jelmaan wanita cantik itu berusaha menghisap darah manusia agar dapat kembali ke ujudnya semula. 

(Diceritakan kembali oleh: Prih Suharto. Sumber: Sketches for a Portrait of Vietnamese Culture)
prih_suharto @ yahoo . com
 
read more...

Cerita Rakyat Timun Emas

Cerita Rakyat: "Timun Emas"
Di suatu desa hiduplah seorang janda tua yang bernama mbok Sarni. Tiap hari dia menghabiskan waktunya sendirian, karena mbok Sarni tidak memiliki seorang anak. Sebenarnya dia ingin sekali mempunyai anak, agar bisa membantunya bekerja.
Pada suatu sore pergilah mbok Sarni ke hutan untuk mencari kayu, dan ditengah jalan mbok Sarni bertemu dengan raksasa yang sangat besar sekali. “Hei, mau kemana kamu?”, tanya si Raksasa. “Aku hanya mau mengumpulkan kayu bakar, jadi ijinkanlah aku lewat”, jawab mbok Sarni. “Hahahaha.... kamu boleh lewat setelah kamu memberiku seorang anak manusia untuk aku santap”, kata si Raksasa. Lalu mbok Sarni menjawab, “Tetapi aku tidak mempunyai anak”.
Setelah mbok Sarni mengatakan bahwa dia tidak punya anak dan ingin sekali punya anak, maka si Raksasa memberinya biji mentimun. Raksasa itu berkata, “Wahai wanita tua, ini aku berikan kamu biji mentimun. Tanamlah biji ini di halaman rumahmu, dan setelah dua minggu kamu akan mendapatkan seorang anak. Tetapi ingat, serahkan anak itu padaku setelah usianya enam tahun”.
Setelah dua minggu, mentimun itu nampak berbuah sangat lebat dan ada salah satu mentimun yang cukup besar. Mbok Sarni kemudian mengambilnya , dan setelah dibelah ternyata isinya adalah seorang bayi yang sangat cantik jelita. Bayi itu kemudian diberi nama timun emas.
Semakin hari timun emas semakin tumbuh besar, dan mbok Sarni sangat gembira sekali karena rumahnya tidak sepi lagi. Semua pekerjaannya bisa selesai dengan cepat karena bantuan timun emas.
Akhirnya pada suatu hari datanglah si Raksasa untuk menagih janji. Mbok Sarni sangat ketakutan, dan tidak mau kehilangan timun emas. Kemudian mbok Sarni berkata, “Wahai raksasa, datanglah kesini dua tahun lagi. Semakin dewasa anak ini, maka semakin enak untuk di santap”. Si Raksasa pun setuju dan meninggalkan rumah mbok Sarni.
Waktu dua tahun bukanlah waktu yang lama, karena itu tiap hari mbok Sarni mencari akal bagaimana caranya supaya anaknya tidak dibawa si Raksasa. Hati mbok Sarni sangat cemas sekali, dan akhirnya pada suatu malam mbok Sarni bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia diberitahu agar timun emas menemui petapa di Gunung.
Pagi harinya mbok Sarni menyuruh timun emas untuk segera menemui petapa itu. Setelah bertemu dengan petapa, timun emas kemudian bercerita tentang maksud kedatangannya. Sang petapa kemudian memberinya empat buah bungkusan kecil yang isinya biji mentimun, jarum, garam, dan terasi. “Lemparkan satu per satu bungkusan ini, kalau kamu dikejar oleh raksasa itu”, perintah petapa. Kemudian timun meas pulang ke rumah, dan langsung menyimpan bungkusan dari sang petapa.
Paginya raksasa datang lagi untuk menagih janji. “Wahai wanita tua, mana anak itu? Aku sudah tidak tahan untuk menyantapnya”, teriak si Raksasa. Kemudian mbok Sarni menjawab, “Janganlah kau ambil anakku ini wahai raksasa, karena aku sangat sayang padanya. Lebih baik aku saja yang kamu santap”. Raksasa tidak mau menerima tawaran dari mbok Sarni itu, dan akhirnya marah besar. “Mana anak itu? Mana timun emas?”, teriak si raksasa.
Karena tidak tega melihat mbok Sarni menangis terus, maka timun emas keluar dari tempat sembunyinya. “Aku di sini raksasa, tangkaplah aku jika kau bisa!!!”, teriak timun emas.
Raksasapun mengejarnya, dan timun emas mulai melemparkan kantong yang berisi mentimun. Sungguh ajaib, hutan menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Raksasapun menjadi terhambat, karena batang timun tersebut terus melilit tubuhnya. Tetapi akhirnya si raksasa berhasil bebas juga, dan mulai mngejar timun emas lagi. Lalu timun emas menaburkan kantong kedua yang berisi jarum, dalam sekejap tumbuhlan pohon-pohon bambu yang sangat tinggi dan tajam. Dengan kaki yang berdarah-darah karena tertancap bambu tersebut si raksasa terus mengejar.
Kemudian timun emas membuka bingkisan ketiga yang berisi garam. Seketika itu hutanpun menjadi lautan luas. Tetapi lautan itu dengan mudah dilalui si raksasa. Yang terakhir Timun Emas akhirnya menaburkan terasi, seketika itu terbentuklah lautan lumpur yang mendidih, dan si raksasa tercebur di dalamnya. Akhirnya raksasapun mati.
Timun Emas mengucap syukur kepada Tuhan YME, karena sudah diselamatkan dari raksasa yang kejam. Akhirnya Timun Emas dan Mbok Sarni hidup bahagia dan damai.
read more...

UNTUK PAK GURU

Bondan sedang mengumpulkan mangga-mangga perolehannya di kebun ketika Parto mencarinya.
" Hai, Bondan !", seru Parto seraya menghampirinya.
" Hai... Sudah siapkah kamu, To? "
" Tentu sudah. Saya bawa jambu".
" Bagus. Sekarang bantu aku dulu mencuci mangga-mangga ini di sumur. Dan yang pecah itu bisa kamu makan."
Kedua sahabat itupun lalu membawanya ke sumur dan mencucinya. Ada sebelas biji mangga besar-besar dan tiga yang pecah.
" Nymm.... tentu Pak Joko nanti akan senang hatinya dengan buah-buah bawaan kita ini ya, Bon,"
celoteh Parto sambil menyantap mangga yang telah dibubuhi garam itu.
" Mudah-mudahan beliau lekas sembuh, dan bisa mengajar kita lagi."
" Dan mudah-mudahan juga, kelak bila kita ulangan diberi nilai delapan."
" Hush, ngawur saja kamu! Itu tandanya kamu tidak ikhlas dengan apa yang kamu sampaikan padanya. Seperti pepatah: ada udang di balik batu."
" He-he-he.... kalau udangnya di balik rempeyek memang aku suka, Bon."
Pak Joko adalah guru olah raga Bondan dan Parto. Pagi tadi beliau tidak bisa hadir di sekolah, diberitakan mengalami musibah kecelakaan lalu lintas. Tapi tidak parah. Hanya sikunya sedikit lecet, dan butuh istirahat untuk ketenangan.
Bondan dan Parto yang tidak seberapa jauh rumahnya dengan tempat tinggal Pak Joko, hari itu telah bersepakat menjenguknya.
Maka setelah semuanya beres di kemas, kedua sahabat itupun berangkat dengan berboncengan menaiki sepeda Parto.
" Aku berani bertaruh, Bon... kitalah nanti yang menjadi murid kesayangan Pak Joko. Soalnya kitalah yang mau menjenguknya."
" Huh, kamu To.... To. Disayangi atau tidak itu tergantung sikapmu. Kalau kamu rajin belajar dan tidak mbolosan, tentu tak hanya Pak Joko yang sayang padamu. Tapi semua guru dan bahkan semua murid akan baik padamu."
Setiba di tempat kediaman Pak Joko ternyata sudah ada teman-temannya yang lain yang juga menjenguk Pak Joko. Antara lain Norman, Slamet, Ucok dan Haris.
" Wah, Bon, kita kedahuluan !" bisik Parto.
" Mangkanya.... jangan sok !"
Bondan dan Parto diterima dengan baik oleh Pak Joko.Juga beliau mengucapkan terimakasih atas oleh-olehnya. Namun sebentar kemudian, datang lagi rombongan murid yang lain yang juga mau menjenguk Pak Joko. Di antar oleh seorang Ibu Guru, teman Pak Joko, sebagai wakil dari sekolah.
Terpaksa Pak Joko menggelar sejumlah tikar untuk menerima kehadiran tamu-tamu kecil, muridnya itu.
Karena, tempat duduk tidak mencukupi. Mereka semua akhirnya duduk melingkar di tikar. Semua bawaan murid-murid, sengaja ditaruh di tengah-tengah oleh Pak Joko. Persis orang mau bancaan.
" Sebelumnya saya panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa," demikian Pak Joko memulai sambutannya.
" Saya merasa, kecelakaan kecil yang menimpa saya ini, membawa berkah. Kebetulan sekali tepat hari ini adalah hari ulang tahun saya. Maka hari ini pulalah saya merayakannya dan dengan saya beri tema bah-wa-kah, yang artinya: musibah yang membawa berkah...."
Riuh tawa memenuhi segenap ruangan. Jadinya acaranya berubah menjadi acara bahagia. Dengan hidangan yang telah di bawa sendiri oleh murid-murid itu. Maka sambil bertepuk tangan, mereka menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk pak guru. Pak Joko, mengucapkan terimakasih kepada semuanya.
" Wah, Bon, ya baru kali ini aku menjumpai acara 'bahwakah'," ujar Parto sepulang dari menghadiri Ul-Tah pak gurunya.
" Itulah keberuntungan namanya.... Yang dianugerahkan Tuhan kepada orang yang mau bersyukur."
read more...

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
anto1669
welcome and congratulations to explore my blog and get experience, you need ... God bless you
Lihat profil lengkapku